SENI

Kamis, 29 Oktober 2015

REPOSISI SENI KRIYA: (Memacu Perkembangan Karya-Karya Kriya Mutahir)

Istilah kriya secara intensif mulai diperkenalkan dalam dunia akademis. Dalam usahanya untuk memasyarakatkan dan mereposisi diri, kriya dihadapkan berbebagai persoalan dan steriotif yang mendudukkan kriya sebagai seni rendahan dan termajinalkan dalam pembahasan seni rupa (seni murni). Adanya persepsi bahwa kriya tak lebih merupakan seni terapan, seni dekoratif, bahkan kerajinan karena hanya mengabdi pada kaidah keterampilan penanganan teknis, yang nilainya berada di bawah dan tidak pantas dipadankan dengan seni rupa – seni lukis dan patung. Persepsi ini diwariskan oleh dikotomi fine art (seni murni) seni lukis, seni patung, dan arsitektur atas craft dalam seni modern Barat. Namun situasi di Indonesia tidaklah seeksterm di Barat dimana craft sangat termarjinalkan dianggap bukan seni, dan tidak diberi kesempatan masuk dalam pembahasan fine art. Seperti halnya negara-negara di luar mainstrem Barat, maka seni modern yang masuk ke Indonesia tidak sepenuhnya merupakan adopsi kaku dari seni modern Barat. Karena mengalami mediasi dengan muatan-muatan lokal yang kerap menghasilkan bentuk-bentuk yang hibrid yang menjadikan seni modern Indonesia sangat sulit untuk diidentifikasi dengan kacamata baku seni modern Barat, hal ini disebabkan oleh bekerjanya nilai-nilai lokal. (Jim Supangkat, Bentara Kompas, 7 Juli 2000) Seni modern yang mono–linear (terpusat) dan menjunjung nilai universalitas cenderung tidak mengakui hadirnya seni-seni dengan capaian sejenis yang berkembang di luar mainsterm Barat.

Dan ketika mengadopsi istilah seni kontemporer, meskipun dirasakan lebih menguntungkan – seni kontemporer Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan paradigmatik. Karena kehadiran seni kontemporer di Barat merupakan perlawanan atas seni modern dengan hegemoni universalismenya, dan tradisi high art (high cultur) didukung oleh dominannya peran infrastruktur dalam menentukan standar nilai. Sementara perkembangan seni kontemporer Indonesia lebih dipicu oleh perlawanan terhadap kesewenangan kekuasaan (rezim) dalam kehidupan bernegara sehingga lebih berimpak politis. Bukan perlawanan pada kekuasaan di lingkungan seni rupa, karena infrastruktur yang ada tidak pernah mampu untuk melakukan dominasi apalagi memberlakukakn stantard nilai yang absolut. Dalam usahanya melakukan pemetaan dan pembacaannya atas seni rupa (lokal) Jim mengajukan beberapa sulosi, salah satunya adalah usaha de-labelisasi terhadap wacana lokal tesebut.
Dalam usaha ini sesungguhnya kesempatan baik untuk melakukan pembacaan kembali pada seni kriya yang selama ini terabaikan dalam setiap pemabahasan seni rupa di tanah air. Sebuah kenyataan istilah ini digali dari nilai lokal di masa lalu, untuk menggangkat seni-seni tradisi yang sangat beragam tersebar di seluruh tanah air yang jenisnya mencapai ribuan. Yang masih dilingkupi alam pemikiran metafisis seperti; kesenian Dayak. Asmat, Toraja, dan masih banyak lagi yang tidak terpengaruh oleh modernitas atau memang mempertahankan diri dari arus modernisasi.
Berkaitan dengan tujuan tersebut kriya kemudian dihadapkan pada dua kenyataan, disatu sisi menjadi konservatif sebagai penjaga dan mempertahankan nilai-nilai lokal (tradisi), sedang disisi lain dituntut untuk bisa progress mengikuti perkembangan dan pergerakan seni rupa (visual art) – jika nantinya tidak ingin hanya menjadi museum hidup. Upaya ini sebenarnya sudah digiatkan terutama dalam seni keramik hadirnya nama F. Widayanto, atau Hildawati serta yang lain, serta dengan diintensipkannya pewacanan oleh kritikus kriya seperti Asmudjo sebagai sebuah usaha memacu perkembangan seni keramik di Indonesia. Sedangkan di Bali ada Agus Mulyadi yang dengan sangat antusias memacu pewacaan seni keramik di media masa.
Selain medium keramik kriya mempunyai lingkup yang cukup luas, meliputi; Kayu, Batu. Logam, Serat (tekstil). Tidak seperti seni keramik seni ukir (kriya) kayu sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam hal pewacanaan, baik dari kritikus maupun senimannya sendiri. Sebuah kenyataan bahwa bidang seni ini telah menggairahkan perekonomian di Bali khususnya yang berbasis pada pariwisata budaya. Salah satu institusi yang sampai saat ini masih dengan setia mengembangkan kriya kayu adalah STSI Denpasar yang sekarang sudah menggabungkan diri dengan PSSRD Udayana dan menjelma menjadi ISI Denpasar di samping ISI Yogyakarya, ITB, IKJ, dan STSI yang tersebar di beberapa kota di tanah air. Selama satu setengah dasa warsa institusi ini telah melahirkan puluhan sarjana kriya. Namun sayang setelah keluar dari akademis para seniman kriya menghilang ditelan bumi, sepertinya enggan menampakkan diri dan sama sekali tidak berusaha tampil baik dalam penciptaan maupun pengkajian. Kemudian bisa dilihat hampir tidak ada seniman dari disiplin kriya yang dapat bersaing dalam konstelasi seni rupa. Beberapa yang mencoba eksis adalah mereka yang mendapat kesempatan duduk dalam institusi (menjadi dosen).
Mereka mengembangkan karya-karya individual yang lebih mengetengahkan ekspresi – estetik daripada kriya yang berbasis pada seni terapan dan kebergunaan (kebermanfaatan) yang kemudian dikatagorikan sebagai “kriya seni”. Dengan sedikit optimisme secara perlahan seni ukir (kriya) kayu mutahir hadir dalam Pameran Seni Rupa Menyambut ISI Denpasar. Fenomena yang menarik adalah munculnya kecenderungan untuk melakukan penggalian pada wilayah dua dimensi dan melakukan eksperimen –mengkombinasikan kayu dengan media yang lain seperti kanvas, teknik pahatan dengan melukis dengan warna yang ekspresif atau penegakan karakter bahan. Daripada menjelajahi kemungkinan-kemungkinan pada wilayah tiga dimensi – yang sudah meluas dari instalasi sampai pada konsep ruang yang lebih luas seperti earthwork (earth art).
Pola pemikiran seperti itu sangat dipengaruhi oleh konvensi yang dibentuk oleh seniman kriya sendiri untuk membedakan diri dengan seni lukis (dua dimensi) dan seni patung (tiga dimensi). Disini kriya memposisikan diri berada dalam batasan-batasan dimensi tersebut– yang mempunyai wilayah di tengah-tengah antara dua dimensi dan tiga dimensi (semi tiga dimensi) berbentuk relief. Mempunyai pretensi ketebalan tertentu (berupa relief) tetapi menjauhkan diri dari representasi tiga dimensi (artinya lebih signifikan dengan satu sisi atau penampakan) berbeda dengan seni tiga dimensi (patung) – yang memiliki keterpaduan dalam panampakan segala sisi mendapat pertimbangan. Kenyataan ini dapat disimak dalam karya I Md Supartha “ Tertarik” dari kayu Suar, “ WWW. Information.Com karya Ketut Mudia, dan karya Wayan Suarjana “ Bermain”, meskipun wujudnya tiga dimensi, namun representasinya hanya pada satu sisi hanya dapat dinikmati dari depan –tampak samping dan tampak belakangnya tidak menjadi sesuatu yang penting.
Sementara pada karya Komang Widnyana “Bumi” dan Sidaarsa” Melamun” –menampakkan pencarian pada wujud dua dimensi capaian yang dekat dengan seni lukis. Kecenderungan ini semakin menguat dalam satu tahun belakangan ini bahkan tidak tanggung-tanggung menggunakan kanvas dengan menggabungkan teknik pahat dan melukis. Mereka seolah-olah ingin menyampaikan bahwa dengan kemampuan mengolah bahan (craftsmanship) yang mereka miliki dapat bersaing dengan karya-karya seni lukis.
Meninjau kembali difinisi kriya tidak lain lebih mengacu pada penguasaan dan kemampuan penanganan teknis istilah lainnya craftsmanship dan ini adalah modal dasar, karena dalam perkembangan seni rupa asfek tersebut sepertinya semakin terabaikan. Sehingga kerap terjadi ketimpangan antara capaian visual (teks) dan muatan konteks serta kandungan isi (konteks). Di samping permasalahan konseptual kriya juga di hadapkan pada belum atau minimnya infrasruktur, galeri, museum, institusi seni dan satu lagi adalah pengkaji (kritikus) yang diharapkan dapat melakukan pembacaan dan pemetaan karya kriya dan mencari paradigma bagi perkembangan kriya.
Seriyoga Parta
Tulisan dimuat di Bali Post Minggu, 7 September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar